(by Caitlin Franzmann)

*Bahasa translation below

There has been much discussion in the first week of IBP about systems of energy in nature, electronics, politics, human relations and even in the cosmic sense.  I’ve been particularly interested in the dynamic energy that emanates between individuals and social groups through conversation, body language and competition.  I say competition, perhaps due to the legislative elections that will take place here on 9 April, but also in a sonic sense – the contest to be heard.

Jompet explained (which I hope I have interpreted correctly) that the fall of the Suharto Regime in 1998 gave people power of voice.  There was a shift from a vertical system of power with the government controlling the voice of the nation to a more horizontal system of different religious, social and ethnic groups using this new permission to freely voice beliefs, ideas and culture.  I have experienced this contest to be heard by listening to the local youths riding motorbikes en masse with pimped up exhaust systems, uniforms and flags to express their political preference.   Even in a less political sense with the hacked sounds of lambada coming from the bread vendor or the fantastical lights and competing music blaring from the odong odong at the alun alun kidul (I’ll write more on this hot spot soon).

With all this talk of competing voices and in walking the sensorially stimulating streets of urban Yogyakarta, I have found myself continually returning to the power of listening.  An exchange that involves the voice must of course require ears for the words to fall.  So where does the power of listening fit in a world full of competing sounds?

With this question in mind, we purchased two large loudspeakers, used by mosques to project the ahan – calling the community to prayer.  I can already see them speaking to each other. Dholy also took me to the Sumur Gumuling, a round semi-underground building that used to function as a mosque at the time of Yogyakarta Palace. We were both amazed by the design and sonics of this space.  The circular construction and chambers resonate sound throughout the building.  My initial thought was to create an installation in this space, however I’ve discovered that permissions for this kind of thing are no easier in Indonesia than Australia.

Like Tintin, this idea of Gumuling (rolling in circular) has stayed with me, particularly in a social and spatial sense. Lets see where it all leads.

Joel and peter testing the loudspeakers

Joel and peter testing the loudspeakers

A true improv artist

A true improvisation artist

Daya Melingkar
 
Ada banyak diskusi tentang sistem daya alam, elektronik, politik, hubungan antar-manusia, dan bahkan daya kosmik, pada minggu pertama IBP. Secara khusus saya tertarik pada daya dinamis yang menyebar di antara individu dan kelompok-kelompok sosial melalui perbincangan, bahasa tubuh, dan persaingan. Saya menyebut persaingan, mungkin karena Pemilu legislatif yang akan berlangsung di sini pada 9 April, tetapi juga persaingan dalam arti bebunyian—bersaingan untuk didengarkan.

Jompet menjelaskan (yang semoga saya menafsirkannya dengan benar) bahwa jatuhnya Rezim Suharto pada 1998 memberi orang kekuatan untuk bersuara. Ada pergeseran dari sistem kekuasaan vertikal, di mana pemerintah mengendalikan suara bangsa, ke sistem horisontal di mana kelompok agama, sosial dan etnis yang berbeda menggunakan kesempatan baru ini untuk bebas menyuarakan keyakinan, gagasan, dan budaya mereka. Saya mengalami langsung persaingan suara ini dengan mendengarkan para pemuda setempat mengendarai sepeda motor secara massal, dengan knalpot yang dicopot, berseragam dan berbendera, untuk mengekspresikan pilihan politik mereka. Dalam arti yang kurang politis, persaingan ini juga terjadi di antara suara cempreng lambada yang berasal dari pedagang roti atau lampu fantastis, dan musik odong-odong yang menggelegar di Alun-Alun Kidul (segera saya akan menulis lebih banyak tentang tempat yang menarik ini) .

Dengan semua pembicaraan tentang suara bising dan pengalaman berjalan-jalan di perkotaan Yogyakarta yang begitu menggugah, saya mendapati diri saya terus kembali kepada kekuatan mendengarkan. Suatu pertukaran yang melibatkan suara tentunya membutuhkan telinga untuk mendengarkannya. Jadi dimanakah letak kekuatan mendengar dalam dunia begitu bising?

Dengan pertanyaan ini dalam pikiran, kami membeli dua pengeras suara besar, yang biasa dipakai masjid untuk menyuarakan Adzan. Saya sudah bisa melihat dua pengeras suara itu berbicara satu sama lain. Dholy juga membawa saya ke Sumur Gumuling, bangunan yang terletak separuh di bawah tanah, yang digunakan sebagai masjid pada saat Kraton Yogyakarta masih berfungsi. Kami berdua kagum dengan desain dan tata bunyi ruang ini. Bangunan melingkar dan lorong menggemakan suara pada seluruh bangunan. Gagasan awal saya adalah menciptakan sebuah instalasi di ruang ini, namun saya dapati bahwa izin untuk hal semacam ini tidak mudah didapat di Indonesia, daripada Australia .

Seperti halnya bagi Tintin, gagasan Gumuling (bergulir melingkar) ini telah tertanam dalam diri saya, terutama dalam pengertian sosial dan spasial. Mari kita lihat kemana gagasan ini akan berakhir.
In dialogue

In dialogue

Magic light of the Sumur Gumuling

Magic light of the Sumur Gumuling

The central stairs of Sumur Gumuling

The central stairs of Sumur Gumuling