Pasa sesi penutup kemarin Rod Cooper mengeluarkan salah satu gitar buatannya dan memainkan salah lagu dari koleksi lagu blues putus asa Melbourne. Sungguh menghibur dan bikin putus asa.
Sementara saya menulis artikel ini, di kembali melanjutkan kerja mencipta dengungan dan geraman dengan cara memasangkan dinamo ke alat musik petik bikinannya. Nanti kita akan bahas soal ini.
Di luar, Asep Nata meniup alat pelaras nada untuk mencari nada logam pada skala yang belum diketahui sebelumnya. Saya ingin tahu bagaimana nantinya alat musik ini akan dimainkan. Asep juga telah berhasil ‘menyelaraskan nada’ setumpuk tegel bekas, dan siap dimainkan.
Kami mendapatkan kunjungan mendadak dari sejumlah mahasiswa Universitas Michigan, yang berkolaborasi dengan kelompok Taring Padi. Mereka tampak kagum pada the Instrument Builders Project dan keterbukaan studio kami.
Michael Candy hari ini membuat sebuah kotak kecil yang bisa menghasilkan bunyi ketika suhunya mencapai 100 derajat celcius. Besok dia berencana membawanya ke Merapi dan mencari tempat yang cukup panas untuk mencoba alat ini. Kita tahu kawah gunung berapi lebih panas dari suhu yang ditentukan Michael.
Di dekat pintu masuk studio, karya berbasis alat pembajak sawah Dylan dan Wukir terus tumbuh, dengan penambahan kaleng-kaleng bir yang terhubung ke rangkaian elektronik yang akan menggerakkan kait kayu robotik, yang dilekatkan pada sebuah batu, dan akan memukul kaleng-kaleng itu. Sebuah peciptaan sampah berteknologi tinggi tengah berlangsung di sini. Cerdik!
Ruangan workshop mulai memanas, karena semakin banyak seniman yang mengujicoba mikrofon dan sinyal-sinyal bising lainnya. Selagi bebunyian memenuhi ruangan workshop, gagasan dan strategi mulai tumbuh berlintasan bersamaan dengan tumbuhnya sifat kolaboratif workshop. Penyanyi Yogya terkenal dan penerjemah IBP Rully Sabara terlibat jamming dengan memainkan gitar bikinan Wukir Suryadi.
Kami akan segera memulai presentasi seniman, yang seharusnya akan membuat proses ini akan lebih maju.
Ditulis oleh Joel Stern.